Imas Indra A detail-oriented and innovative writer. She developed her creative talent and expertise after years of practice in journalism, academic research, essay writing, and blogging. Currently in Niagahoster, she boosted more people to #BuildSuccessOnline using SEO and content marketing strategies. When it comes to writing, her goal is to make complex topics enjoyable.

5+ Perbedaan B2B, B2C, & C2C Marketing yang Wajib Anda Ketahui

5 min read

Featured image perbedaan B2B dan B2C

Banyaknya istilah marketing sering kali membuat pemula terintimidasi. Padahal, di balik istilah-istilah ini, ada ilmu bisnis dan strategi yang bisa dipakai untuk mendukung usaha Anda. Begitu halnya dengan istilah B2B, B2C, dan C2C.

Sebelum Anda terlanjur dibuat bingung, artikel ini akan menjelaskan ketiga istilah bisnis di atas. Selain itu, kami juga akan membahas perbedaan B2B dan B2C serta akibatnya pada strategi marketing yang dijalankan.

Apa yang Dimaksud dengan B2B, B2C, dan C2C?

Business to business atau B2B adalah sebuah model penjualan yang terjadi antara pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lainnya. Salah satu contoh B2B seperti importir spare part mesin yang menjual barangnya ke pabrik tekstil. Bisa juga penjualan VPS, SSL, dan web hosting ke web agency.

Business to consumer atau B2C adalah model penjualan antara pelaku bisnis dengan konsumen. Contoh B2C ini rasanya lebih familiar dan bisa kita lihat sehari-hari. Mulai dari berjualan makanan, jasa laundry, ojek, sampai salon adalah contoh B2C.

Customer to customer (C2C) adalah model bisnis di mana konsumen dari sebuah marketplace menjual produk ke sesama konsumen lainnya. Model bisnis ini muncul bersamaan dengan teknologi e-commerce. Contoh bisnis ini pun sangat familiar, seperti Bukalapak, BliBli, Shopee, dan marketplace lainnya.

Baca Juga: 4 Model Bisnis Ecommerce yang Harus Anda Ketahui

Dari penjelasan singkat ini, nampak jelas bahwa perbedaan B2B dan B2C terletak pada target pembelinya. Barang yang ditawarkan bisa saja sama. Tapi, siapa yang membeli jadi hal yang penting. Di sisi lain, C2C lebih menekankan pada pelaku bisnis yang sama-sama merupakan konsumen.

Sekilas, perbedaan antara B2B dan B2C terlihat begitu tipis. Namun nyatanya, target pasar yang berbeda saja bisa mengakibatkan perbedaan pada aspek-aspek lainnya. Di bagian selanjutnya, Anda diajak untuk tahu lebih lanjut perbedaan penting model B2B dengan B2C.

Perbedaan B2B dan B2C

Perbedaan antara B2B dan B2C tidak cukup untuk Anda ketahui. Lebih dari itu, Anda perlu memahami perbedaan antara keduanya. Perbedaan inilah yang akan ikut mempengaruhi strategi marketing yang dijalankan.

Setidaknya ada tujuh perbedaan antara B2B dan B2C. Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

1. Target audiens atau pasar

Dilihat dari namanya, B2B dan B2C jelas memiliki target pasar yang berbeda.

B2B menyasar pelaku-pelaku bisnis, sedangkan B2C menargetkan pembelian oleh konsumen perorangan. Dari sini saja terlihat bahwa perbedaan B2B dan B2C begitu besar.

Secara jumlah, prospek pasar B2B cenderung kecil. Bisa dibilang begitu karena jumlah pengusaha atau produsen pastinya lebih kecil dibandingkan konsumennya. Itu mengapa B2B memiliki potensi penjualan yang kecil dan spesifik.

Lain halnya dengan B2C yang menargetkan konsumen. Potensi pasar B2C sangat luas dan kemungkinannya hampir tak terbatas. Bayangkan apa saja barang yang bisa dijual ke 264 juta penduduk Indonesia? Banyak sekali bukan? Inilah yang disebut sebagai kemungkinan yang tak terbatas.

Meski perbedaannya begitu kentara, kita tak bisa mengatakan satu model bisnis lebih baik di antara lainnya. Perbedaan keduanya hanyalah seperti alamat atau kebutuhan yang berbeda. Dale Carnegie, seorang penulis dan ahli bisnis, menggambarkannya dalam sebuah kutipan yang menarik.

“Personally, I am very fond of strawberries and cream, but I have found that for some strange reason, fish prefer worms.”

Baca juga: 7 Langkah Membuat Strategi Content Marketing Untuk Bisnis

2. Jumlah pembelian dan harga

Dalam marketing, siapa yang membeli ikut mempengaruhi jumlah barang yang dibeli berikut juga harganya. Untuk B2B misalnya, tidak perlu menjual barang dalam jumlah besar untuk mendapatkan omzet tinggi. Karena pada dasarnya, harga per unit pada model B2B sudah sangat tinggi.

Pun, tidak menutup kemungkinan kalau pembelian dalam skema B2B juga terjadi dalam jumlah yang besar. Dari sebuah sumber dikatakan bahwa nilai rata-rata kontrak B2B milik Lippo Group, Mbiz, berhasil mencetak rata-rata nilai kontrak sebesar Rp312 juta.

Berbeda halnya dengan marketing B2C. Model satu ini mengharuskan Anda menjual produk dalam jumlah besar untuk memaksimalkan omzet. Tak lain, ini karena harga barang per unitnya sudah sangat murah. Ditambah, tak banyak orang yang membeli barang-barang retail dalam jumlah besar.

3. Motivasi

Untuk bisa menjalankan strategi pemasaran dengan baik, Anda perlu memahami motivasi pembeli. Begitu juga dengan dua model pemasaran ini.

Memaksimalkan keuntungan, efisiensi pekerjaan, dan investasi ─ setidaknya itulah motivasi yang dimiliki pembeli B2B. Klien membeli barang bukan untuk memenuhi kebutuhan emosional. Justru sebaliknya, pertimbangan logis lah yang mendominasi alasan pembeli produk B2B. Prinsip utama pembeli B2B kira-kira begini, kenapa dibeli kalau itu tak menguntungkan?

Di sisi lain, motivasi pembeli barang-barang B2C sangatlah beragam. Bisa jadi pelanggan membeli karena ingin mencoba produk baru, memanfaatkan momen promo, menyukai produk yang dimaksud, membelikan barang untuk hadiah, alasan prestise, dan sebagainya. Apapun alasannya, bisa dikatakan kalau motivasi mereka didasarkan pada sisi emosi.

Kalau pun pembeli menggunakan pertimbangan logis ─ membandingkan harga dan komposisi ─  pembeli B2C hanya akan memakai produk untuk kebutuhannya sendiri. Mereka tidak akan terpikir untuk menjual produk itu kembali.

4. Pembuatan keputusan

Klien bisnis B2B adalah klien bisnis yang logis. Klien ini perlu mempertimbangkan banyak hal serta keuntungan jangka panjang sebelum membeli produk. Maka tak jarang, ada banyak pihak yang dimintai pertimbangan.

Untuk sekali transaksi saja, sebuah perusahaan bisa meminta pertimbangan dari direktur, manajer, bagian finansial, legal, dan marketing. Maka dari itu, tak heran jika proses pembuatan keputusan hingga proses transaksi dilakukan dalam waktu yang lama.

Lain lagi dengan pembeli produk B2C. Karena produk yang akan dibeli digunakan dalam lingkup yang sempit dan personal, pembuatan keputusan dilakukan secara individu. Kalau pun ada pertimbangan dari orang lain, pertimbangan yang diberikan pun tidak akan serumit B2B. Hasilnya, pembeli produk retail lebih cepat dalam membuat keputusan sebelum pembelian.

5. Hubungan penjual dengan pembeli

Praktik bisnis B2B dan B2C memiliki hubungan antara penjual dan pembeli yang berbeda. Sifat kontras ini sedikit banyak dipengaruhi oleh motivasi dan proses pembuatan keputusan.

Dalam kasus B2B, misalnya. Proses yang panjang dan rumit membuat klien B2B bisnis cenderung menjalin hubungan jangka panjang dengan supplier-nya. Sekali klien merasa puas dan cocok dengan kualitas produk serta pelayanan, klien B2B kemungkinan akan terus memakai supplier tersebut. Bisa dikatakan reputasi dan pengalaman menjadi faktor penting bagi kesuksesan bisnis B2B.

Hal di atas sangat berbeda dengan hubungan B2C. Motivasi personal dan pengambilan keputusan yang cepat membuat hubungan pembeli dan penjual berlangsung jangka pendek. Ditambah, ada banyak pilihan produk dan promo di pasaran. Ini menyebabkan pelanggan bisa dengan mudah berpindah ke satu produk ke produk lainnya. Tak aneh jika salah satu tantangan bisnis B2C adalah meningkatkan loyalitas pelanggan.

Baca juga: Apa itu Inbound Marketing?

6. Persaingan

Persaingan merupakan hal biasa dalam bisnis. Tapi kita tetap perlu paham bagaimana persaingan itu terjadi. Karena dengan itu, kita bisa menyusun strategi untuk memenangkan persaingan.

Dilihat dari banyaknya pelaku bisnis, B2B memiliki tingkat persaingan yang sedikit rendah. Model B2B belum banyak diminati di Indonesia. Sehingga pelaku-pelakunya kebanyakan merupakan orang-orang lama.

Namun, persaingan sesungguhnya bagi B2B adalah soal reputasi dan koneksi. Untuk mendapatkan klien, pemilik bisnis B2B harus meningkatkan reputasinya. Entah itu dari pengetahuan dan keahlian maupun portofolio serta pengalaman melayani klien-klien lainnya.

Reputasi tidak akan meningkat jika tidak memiliki koneksi. Dari mana B2B bisa mendapatkan pengalaman jika belum pernah meng-handle klien? Tapi, tanpa reputasi B2B pun tidak akan memiliki tambahan koneksi. Sedikit rumit, bukan?

Berbeda halnya dengan B2C. Dilihat dari banyaknya pelaku bisnis, B2C tentu memiliki tingkat persaingan yang amat tinggi. Persaingan terjadi dalam berbagai sektor dan skala. Mulai dari perusahaan kelas kakap sampai industri rumahan.

Maka tak aneh jika banyak B2C mempromosikan produknya secara besar-besaran. Terkadang dengan merilis produk baru, memilih brand ambassador, dan bahkan membuat promo serta diskon. Semuanya dilakukan untuk mempengaruhi pelanggan agar membeli produk B2C.

Baca juga: Cara Membuat Review di WordPress

7. Strategi marketing

Sekian perbedaan yang telah disebut sebelumnya membentuk strategi marketing yang spesifik.

B2B kerap menggunakan strategi marketing untuk meningkatkan reputasinya. Biasanya, B2B menggunakan media untuk menampilkan berbagai konten dan portofolionya. Cara ini akan meyakinkan calon klien bahwa sebuah bisnis memang memiliki keahlian di bidang tersebut. Bisnis semacam ini juga memiliki public relation khusus untuk melakukan lobi ke klien-klien yang diincar.

Strategi tersebut sedikit berbeda dengan B2C. Meski sama-sama membutuhkan reputasi, bisnis B2C mewujudkannya dengan cara berbeda. Bisnis yang langsung menyasar konsumen biasanya akan menggunakan strategi marketing yang bersifat emosional.

Artinya, konsumen bisa saja dibuat merasa senang, sedih, atau bangga hingga akhirnya membeli produk yang diiklankan. Selain itu, banyak bisnis B2C yang gencar melakukan promosi dan diskon.

Baca juga: 11+ Strategi Pemasaran Efektif untuk UKM

Lalu, bagaimana dengan C2C?

Model bisnis customer to customer (C2C) sangat mirip dengan model B2C. Mereka sama-sama menargetkan konsumen yang membeli dalam jumlah terbatas. Motivasi dan pengambilan keputusannya juga sangat personal dan berlangsung cepat.

Persaingan dan strategi marketing yang dijalankan pun serupa. C2C banyak menggunakan media sosial untuk memuat promosi produk terbaru.

Baca juga: Ingin Memulai Bisnis Dropship? Simak Dahulu Artikel Ini

Tapi selain lewat media sosial, C2C juga banyak melakukan promosi di marketplace itu sendiri.

Pelaku C2C harus rajin-rajin melakukan “Up” atau menekan tombol promosi agar produknya bisa tampil di halaman depan marketplace.

Baca Juga :

Kesimpulan

Meski sama-sama menjual produk, ternyata B2B, B2C, dan C2C memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Kita belajar kalau ternyata perbedaan-perbedaan ini ikut mempengaruhi bagaimana bisnis berjalan dan strategi marketing yang dipakai.

Ke depan, kami juga akan membahas strategi dan tips untuk menjalankan B2B dan B2C. Penasaran, kan? Subscribe blog Niagahoster agar tak ketinggalan artikel-artikel menarik lainnya.

Imas Indra A detail-oriented and innovative writer. She developed her creative talent and expertise after years of practice in journalism, academic research, essay writing, and blogging. Currently in Niagahoster, she boosted more people to #BuildSuccessOnline using SEO and content marketing strategies. When it comes to writing, her goal is to make complex topics enjoyable.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *